Jumat, 27 Maret 2009



Teologi Islam dan Problem Pluralitas
Meski sebagai muslim kita diwajibkan untuk meyakini bahwa agama Islam adalah yang paling benar, namun Islam melarang umatnya untuk merendahkan agama lain. Apalagi menyakiti penganut agama non-Islam. Sikap merendahkan non-muslim justru akan menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mulia. Padahal perintah Allah dan semangat ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Adalah sebuah absurditas jika pengakuan tersebut tidak diiringi dengan sikap yang toleran terhadap pemeluk agama lain.
Tradisi Teologi
Nabi Muhammad Saw adalah teladan yang layak dijadikan panutan dalam konteks ini. Dalam kehidupan beliau sebagai pemimpin masyarakat Madinah, sikap toleran terhadap umat lainnya menjadi karakter kepemimpinannya. Bukan “arogansi teologis” yang beliau tunjukkan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, melainkan ajakan untuk bersama-sama membangun masyarakat dan melindungi negara dari ancaman musuh. Padahal jika beliau mau, mereka bisa saja diusir dari Madinah dengan alasan beda agama.
Atas dasar itu kekerasan terhadap pemeluk agama lain yang ditampilkan oleh sejumlah umat Islam di Indonesia tidak memiliki “legitimasi doktrin” dan landasan sejarah. Eksklusivisme dan kekerasan adalah sebuah “arogansi teologi”, keangkuhan yang disebabkan oleh perasaan paling benar. Kenyataannya, “arogansi teologi” yang diekspresikan dengan sikap diskriminatif dan kecurigaan berlebihan terhadap non-Muslim, akan menjatuhkan kredibilitas Islam di mata non-Muslim. Pada dasarnya eksklusivisme dan radikalisme dilatari oleh kesalahan dalam memahami teks al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Saw.
Dalam tradisi intelektual Islam, teologi yang dikenal luas adalah Asy’ariyah, selanjutnya lebih populer disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Teologi ini berkembang pesat dan menjadi mazhab resmi yang dianut mayoritas umat Islam. Nampaknya, banyaknya jumlah pengikutnya ini yang menjadi alasan penyebutan al-Jama’ah (mayoritas). Kemunculan teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah sintesa sekaligus solusi atas kebingungan teologis yang dialami umat Islam. Pertarungan antara Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ra’yi (teologi Mu’tazilah) membuahkan dilema, keduanya berada pada titik ekstrim yang tidak mudah untuk didamaikan. Pertarungan tersebut berujung pada peristiwa mihnah (inquisition), di mana Imam Ahmad bin Hambal dihukum lantaran berbeda dengan mazhab resmi kekhalifahan al-Ma’mun (Dinasti Abbasiyah). Imam Hambal mewakili Ahlu al-Hadits, sementara al-Ma’mun Ahlu al-Ra’yi.
Truth claim dari masing-masing pihak memunculkan kebingungan teologis di kalangan umat Islam. Kemunculan teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah seakan memberikan alternatif di antara dua titik ekstrim yang saling berhadapan tadi. Imam Asy’ari mampu memediasi ketegangan pandangan dua mazhab tadi. Di tangan Imam Asy’ari, teologi ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah diposisikan berdiri di antara kedua mazhab tersebut, kemudian pada masa berikutnya di tangan Imam al-Ghazali teologi tersebut semakin mendapatkan simpati umat Islam secara luas.
Problem Pluralitas
Satu hal yang patut dicermati yaitu bahwa, kemunculan suatu teologi tertentu senantiasa terkait dengan upaya merespon permasalahan umat yang terjadi pada saat itu. Latar belakang sosial, politik, dan budaya memiliki faktor penting dalam memahami pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam. Teologi Islam tidak berhenti sampai di tangan al-Ghazali. Kini di tangan para cendekiawan muslim semacam KH Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Syafi’i Ma’arif, dan lain-lain teologi Islam dihadapkan pada problem sosial yang baru, yaitu pluralitas (kemajemukan).
Bagaimana pandangan Islam terhadap agama lain, terkait dengan kebenaran dan keselamatan? Pertanyaan ini layak menjadi bahan renungan bagi umat Islam, tatkala kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kenyataannya tidak monolitik. Pluralitas etnis dan agama, jika tidak disikapi secara dewasa akan berbahaya bagi rasa persatuan sebagai bangsa. Oleh karena itu, sejatinya teologi Islam didialogkan dengan pluralitas agama. Dengan kata lain umat Islam perlu mendefinisikan diri di tengah agama lain. Pendefinisian tersebut mendesak untuk dilakukan, sebab interaksi sosial kita tidak bisa dilepaskan dari jalinan hubungan dan kerjasama dengan agama lain. Manakala kita mengabaikan hal ini, maka akan terjadi kebingungan teologis di kalangan umat. Paling tidak, umat akan merasa resah dan gelisah berkenaan dengan yang mereka kerjakan.
Akan timbul suatu dilema ketika ada keengganan untuk mendialogkan teologi dengan pluralitas, yang berakibat pemisahan aktivitas dunia dan agama. Sebab ketika agama dipandang tidak relevan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk tersebut, umat Islam dengan sendirinya akan mengalami kegagapan.
Mendialogkan teologi dengan pluralitas mengandung maksud menggali nilai-nilai teologi Islam yang relevan atau sesuai dengan pluralitas. Mendialogkan teologi Islam dengan pluralitas didorong harapan terkikisnya konflik dan kekerasan antar pemeluk agama. Upaya seperti itu biasanya akan dihadapkan pula dengan perlunya dialog antar-teologi. Dialog antar-teologi bukan dimaksudkan sebagai usaha untuk saling menunjukkan kelemahan teologi agama lain, melainkan mengapresiasinya. Sebab kebenaran teologi setiap agama tidak selalu dapat diikuti dengan rasionalitas dan logika, seringkali keimanan yang berlandas pada kenyamananlah yang menjadi penentunya. Maka jika dialog tersebut berdebat mendiskusikan kelemahan teologi agama lain, tidak berfaidah besar, bahkan merugikan.(CMM/Hilaly Basya

Minggu, 15 Maret 2009



Mozilla/5.0 (Windows; U; Windows NT 5.1; en-US; rv:1.8.0.4) Gecko/20060508 Firefox/1.5.0.4 - Build ID: 2006050817

Rabu, 11 Maret 2009

सेकुलारिसमे ISLAM

AGAMA DAN NEGARA DALAM PANDANGAN SOEKARNO & NATSIR





Latar Belakang

Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 adalah sebuah negara yang berbentuk Kesatuan. Hal itu berdasarkan kesepakatan para founding fathers kita yang telah berjuang melalui berbagai cara baik diplomatk maupun konfrontasi fisik. Dalam sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) dibahas berbagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia. Topik bahasan itu antara lain adalah mengenai bentuk negara, batas negara, dan dasar negara. Mengenai dua poin bahasan pertama tidak terjadi perdebatan yang berarti, tetapi untuk bahasan mengenai dasar negara terjadi pembahasan yang alot dan perdebatan yang sengit.

Perdebatan itu muncul ke permukaan sekitar tahun 1940-an dan terjadi antara dua tokoh besar saat itu yaitu Soekarno dan Natsir. Perdebatan tentang dasar negara berkutat pada dua pemikiran mereka yang bertolak belakang satu sama lain. Soekarno menganggap bahwa negara harus dipisahkan dari agama. Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Soekarno sering disebut Kaum Nasionalis Sekuler. Pemikiran yang bertolak belakang diperlihatkan oleh Natsir yang menganggap bahwa persoalan negara tidak dapat dipisahkna dari agama (dalam hal ini Islam). Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Natsir sering disebut Kaum Nasionalis Islam. Keduanya sebenarnya mempunyai satu cita-cita yang sama untuk membangun negara ini. Tetapi keduanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menentukan dasar negara ini.



Sosialisasi Politik Soekarno dan Natsir

Masa kecil Soekarno lebih banyak dihabiskan di Tulung Agung (Kediri). Sebelumnya ia tinggal bersama orang tuanya di Surabaya. Tetapi pada usia sekitar lima tahun ia pindah ke Kediri dan tinggal bersama kakeknya. Pada saat itu ia sering diajak oleh kakeknya menonton wayang. Kakeknya ingin mewariskan kecintaannya pada mitologi Jawa klasik itu. Saat itulah Soekarno mulai tertarik. Ia sangat menyukai cerita tentang kisah Mahabarata. Tokoh yang sangat ia kagumi adalah Bima. Bahkan ia mengidentifikasikan dirinya sebagai Bima. Itu adalah awal internalisasi nilai-nilai yang nantinya menjadi dasar pemikiran dan perjuangan bagi Soekarno.[1] Lain lagi halnya dengan pengaruh Barat yang juga mempengaruhi Soekarno. Soekarno kecil tidak pernah mendapatkan pelajaran agama baik formal maupun informal. Keluarganya lebih ke arah kejawen. Wajar apabila pemikiran-pemikirannya di masa selanjutnya tidak mempunyai dasar agama yang kuat. Soekarno banyak mencicipi bangku sekolah Belanda. Tetapi saat itu ia justru mengalami sebuah pengalaman yang memperlihatkan diskriminasi bangsa Barat kepada kaum Bumiputera. Selain hal di atas, ia juga pernah mengalami sosialisasi politik liannya. Seperti bergabungnya ia dengan aktivitas politik di Trikoro Darmo. Sosialisasi politiknya semakin kuat saat ia mondok dan diasuh di rumah tokoh utama Sarekat Islam yaitu Tjokroaminoto. Di sana ia mulai berkenalan dengan berbagai tokoh antara lain adalah Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, dan lain-lain. Soekarno mendapat berbagai pengaruh pemikiran Barat dalam hidupnya. Hal itu ia peroleh ketika berseolah di sekolah asing. Persentuhannya dengan berbagai pemikiran itu membawa pengaruh kuat dalam pemikiran Soekarno nantinya.

Natsir memperoleh sosialisasi politik yang berbeda dengan Soekarno. Ia lahir dari keluarga Minang dan dibesarkan dalam kebudayaan dan adat Minang. Keluarganya sangat menekankan tentang pentingnya beragama dan menjalani ajaran agama. Oleh karena itulah masa kecilnya dihabiskan dengan berbagai kegiatam dan pelajaran agama disamping sekolah formal yang ia ikuti. Pengaruh budaya Minangkabau juga sangat lekat dalam sosialisasi politik Natsir. Latar belakang sejarah pergerakan Islam di Minang juga menjadi fokus utama. Karena pada masa sebelum Natsir lahir pada tahun 1908 di Minang sedang terjadi sebuah gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh kaum muda di daerah tersebut. Gerakan itu diilhami dan dipengaruhi oleh gerakan pembaharuan Islam yang ada di luar negeri seperti Wahhabi di Arab serta Muhammad Abduh di Mesir. Bahkan di antara mereka ada yang pernah berguru langsung dengan tokoh-tokoh Wahhabi. Tuntutan gerakan tersebut antara lain purifikasi (pemurnian) ajaran Islam. Gerakan itulah yang nantinya membawa pengaruh besar pada pemikiran Natsir. Selain pengaruh latar belakang sejarah itu, ada hal lainnya yang juga menjadi sosialisasi politik bagi Natsir yaitu pendidikan formal yang ia tempuh. Pada usia delapan tahun ia bersekolah di HIS (Hollandse Inlandse School) yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad (seorang tokoh pembaharu di Padang). Beberapa bulan setelah itu ia dipindahkan ke HIS pemerintah yang sepenuhnya memakai sistem pendidikan Barat (Belanda) di Kota Solok. Itulah awal mula interaksinya dengan sistem kolonial. Setelah lulus dari HIS, ia melanjutkan ke MULO. Saat di MULO ia mulai bersentuhan dengan aktivitas organisasi yaitu bergabung denga Jong Islamieten Bond. Pada tahun 1927 ia melanjutkan pendidikan dan merantau ke Bandung. Inilah momen pertemuannya dengan berbagai tokoh-tokoh Islam sekaligus sebagai tempat penempaannya hingga menjadi tokoh terkemuka.[2]



Pertarungan Ideologis Kelompok Sekuler dan Islam

Pertarungan ideologis antara dua golongan ini memfokuskan pada masa pergerakan nasional dan membatasi waktu pada tahun 1920-1939. Pada dasawarsa 1920-1930-an disebutkan oleh Taufik Abdullah sebagai “dasawarsa ideologi”. Hal itu dikatakan karena pada masa itu berbagai jenis ideologi berkembang dan menjadi perdebatan di kalangan kaum pergerakan nasional yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan keagamaan serta ideloogi perjuangan. Organisasi-organisasi yang memperdebatkan hal itu antara lain adalah Sarekat Islam dan PNI. Perdebatan itu terjadi di berbagai kesempatan dan melalui berbagai media yang ada.. Bahasan utamanya jelas yaitu mengenai ideologi perjuangan yang akan dijadikan sebagai pijakan serta dasar sebuah negara.



Pertentangan Pemikiran Soekarno dan Natsir

Polemik ini bermula ketika munculnya sebuah artikel pada tahun 1940 yang ditulis oleh Soekarno berjudul “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”. Tulisan itu dimuat di majalah Panji Islam. Menurut penulis, alasan dibuatnya tulisan itu sekedar untuk memenuhi permintaan pembaca Panji Islam dan sebagai bahan pertimbangan tentang baik buruknya serta benar salahnya agama dipisahkan dari negara. Dalam tulisan tersebut penulis menyatakan bahwa dirinya tidak memihak kebijaksanaan Kemal Attaturk dan tidak memberikan penilaian darinya mengenai ide dan tindakan Kemal tesebut walaupun ia telah membaca sekitar dua puluh buku yang mambahas tentang masalah tersebut. Tulisan itu dibantah oleh Natsir yang pada mulanya menulis dengan nama samaran A.Muchlis. Artikel-artikel Soekarno dikatakannya tidak hanya sekedar bahan pertimbangan untuk dipikirkan saja, melainkan pernyataan pemihakan Soekarno terhadap ide dan dan tindakan Kemal. Perdebatan antara kedua tokoh tersebut terjadi dalam bentuk argumentasi yang dituliskan melalui artikel di majalah. Banyak sekali artikel yang mereka buat untuk saling membantah pemikiran diantara mereka mengenai Islam dan Negara. Tapi saya akan mengungkapkan pertentangan itu bukan dalam transkrip artikel melainkan melalui intisari pemikiran mereka.



Pemikiran Soekarno dan Natsir tentang Negara Islam

Pemikiran Soekarno tentang masalah ini terkait dengan gagasan pemisahan agama dari negara di Barat (Eropa) yang menyatakan bahwa agama adalah aturan spiritual (akhirat) dan negara adalah aturan duniawi (secular). Ditambahkan oleh soekarno bahwa agama adalah urusan spiritual pribadi, sedangkan masalah negara adalah persoalan dunia dan kemasyarakatan. Berdasarkan hal tersebut, ia menilai bahwa pelaksanaan ajaran agama hendaknya menjadi tanggung jawab setiap pribadi muslim dan bukan negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini tidak turut campur untuk mengatur dan memaksakan ajaran-ajaran agama kepada para warga negaranya. Tapi menurutnya dengan dipisahkannya agama dengan negara bukan berarti ajaran Islam dikesampingkan, sebab dalam negara demokrasi, semua aspirasi termasuk aspirasi keislaman dapat disalurkan melalui parlemen. Umat Islam juga jangan terpaku dengan bentuk formal atau luar ajaran Islam tetapi lebih memperhatikan isi (substansi) atau semangat ajaran Islam. Apabila Indonesia menjadi Negara Islam dan Islam diterima sebagai dasar negara maka akan terjadi perpecahan di Indonesia karena tidak seluruh rakyat Indonesia beragama Islam. Menurut pandangan Soekarno, negara nasional adalah cita-cita rakyat Indonesia. Dalam usaha membangkitkan semangat cinta tanah air harus ditekankan pentingnya persatuan yang menurutnya tidak dapat didasarkan pada sukuisme, agama, atau ras. Persatua bangsa menurut Soekarno (mengutip Ernest Renan) hanya bisa dibangun oleh kehendak untuk bersatu (le desire d’etre ensemble) dan rasa pengabdian kepada tanah air. Persatuan harus mengabaikan kepentingan golongan yang sempit sekalipun berupa kepentingan Islam.[3] Beberapa poin diatas merupakan gambaran singkat pemikiran Soekarno mengenai Islam dan Negara.

Natsir mengemukakan pandangannya tentang Negara Islam. Salah satu penyebab mengapa orang tidak setuju tentang persatuan agama dan negara ialah karena gambaran yang keliru mengenai negara Islam. Gambaran yang disampaikan para Orientalis Barat itu menurutnya telah menyimpang dari bentuk asli negar Islam dan telah mempengaruhi umat islam untuk tidak menyetujui penyatuan Islam dengan Negara. Menurutnya, kekhalifahan Turki Utsmani terakhir (yang menurut Soekarno dianggap sebagai Negara Islam) dinilai tidak mencerminkan ciri-ciri Negara Islam. Natsir juga berpandangan bahwa negara sebagai alat untuk merealisasikan cita-cita Islam sesuai Al Quran dan Sunnah dan bukan merupakan tujuan akhir dalam Islam. Dalam Fiqhud Da’wah, Natsir menggambarkan bahwa hidup duniawi dan ukhrawi pada hakikatnya hanyalah dua fase (tahapan) dari kehidupan yang satu dan kontinyu; fase yang satu berkesinambungan dengan yang lain bagaikan bersambungnya siang dan malam. Ajaran Islam menurutnya tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam Islam terdapat semua perangkat atuarn di setiap aspek kehidupan tanpa terkecuali. Prinsip kenegaraan dalam Islam menekankan kepada bentuk musyawarah atau syuro. Tapi menurutnya, musyawarah dalam Islam berbeda dengan demokrasi karena dasar pemerintahan harus bersandar kepada ajaran Islam yang sudah jelas dan pasti (qath’i). Jadi prinsip pemerintahan negara tidak boleh ada yang lain walaupun ditentukan melalui proses musyawarah parlemen atau meminta persetujuan mayoritas warga negara. Dalam hal ini, Natsir menyatakan bahwa untuk dasar negara hanya mempunyai dua pilihan yaitu Sekularisme (la-diniyah, atau paham agama (dini).[4] Maka negara yang dikehendaki natsir adalah negara yang pada prinsipnya diatur oleh hukum-hukum Allah (syariat Islam).